Pertempuran di Perbatasan Thailand-Kamboja Renggut 14 Nyawa, Situasi Makin Genting

Bangkok – Phnom Penh | Konflik militer antara Thailand dan Kamboja yang kembali mencuat dalam beberapa pekan terakhir kini memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan resmi yang dirilis pada Selasa pagi (22/07/2025), jumlah korban jiwa dari bentrokan bersenjata di perbatasan kedua negara bertambah menjadi 14 orang tewas dan lebih dari 60 orang terluka, baik dari kalangan militer maupun warga sipil.

Pertikaian ini kembali membangkitkan trauma lama di kawasan perbatasan Provinsi Surin (Thailand) dan Provinsi Oddar Meanchey (Kamboja), wilayah yang selama bertahun-tahun menjadi titik panas sengketa antara kedua negara ASEAN tersebut.

Kronologi Bentrokan Terbaru

Menurut pernyataan Kementerian Pertahanan Thailand, baku tembak kembali terjadi pada Minggu malam, dimulai dari insiden patroli militer Thailand yang mengklaim adanya pergerakan tak dikenal di zona netral dekat Candi Preah Vihear — situs yang telah lama menjadi sumber perselisihan antarnegara.

Militer Kamboja, dalam pernyataan terpisah, menyebutkan bahwa pasukan Thailand melanggar batas wilayah dan melepaskan tembakan terlebih dahulu ke arah pos perbatasan Kamboja. Hal ini memicu pertempuran sengit selama lebih dari tiga jam, melibatkan senapan serbu, pelontar granat, dan bahkan artileri ringan.

“Kami kehilangan empat prajurit dalam tugas menjaga kedaulatan. Kamboja tidak akan tinggal diam,” tegas Juru Bicara Militer Kerajaan Kamboja.

Di pihak Thailand, militer melaporkan lima korban tewas dari barisan pasukan serta tiga warga sipil yang turut menjadi korban dalam serangan balasan yang menyasar desa perbatasan.

Jumlah Korban Meningkat: 14 Orang Tewas, Puluhan Luka-luka

Hingga laporan ini diturunkan, total korban tewas yang telah terverifikasi mencapai 14 jiwa — terdiri dari 9 personel militer (5 Thailand, 4 Kamboja) dan 5 warga sipil. Lebih dari 60 orang lainnya mengalami luka-luka dan sedang dirawat di rumah sakit terdekat, dengan puluhan di antaranya dalam kondisi kritis.

Badan Pengungsi Internasional (UNHCR) melaporkan bahwa lebih dari 2.000 warga sipil telah mengungsi dari desa-desa yang berada dalam radius 10 km dari zona konflik.

Reaksi Pemerintah dan Seruan ASEAN

Ketegangan ini mendorong berbagai pihak untuk mendesak gencatan senjata segera. Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, menyampaikan dalam pidato nasional bahwa Thailand tetap mengedepankan jalur diplomasi, namun tidak akan mengorbankan integritas wilayah negaranya.

“Kami menyerukan gencatan senjata dan penyelidikan independen. Tapi kami juga wajib menjaga keamanan rakyat kami,” tegas PM Srettha.

Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menuduh Thailand melanggar wilayah udara dan darat, serta menyebut bahwa pelanggaran tersebut telah terjadi lebih dari lima kali sejak awal Juli.

ASEAN, melalui Ketua Sekretariatnya yang kini dijabat oleh Indonesia, menyampaikan kekhawatiran mendalam dan menawarkan mekanisme dialog damai sesuai prinsip Piagam ASEAN.

Akar Konflik: Sengketa Lama Candi Preah Vihear dan Zona Netral

Perang kata dan peluru ini sesungguhnya merupakan babak lanjutan dari sengketa sejarah mengenai kepemilikan Candi Preah Vihear, situs warisan dunia UNESCO yang berada di perbatasan Thailand-Kamboja.

Pada 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa candi tersebut milik Kamboja, namun hingga kini wilayah sekitarnya masih menjadi zona abu-abu yang diklaim keduanya. Sejak 2008, bentrokan sporadis terus terjadi, meski beberapa kali ditenangkan oleh perjanjian gencatan senjata.

Pengungsian Massal dan Krisis Kemanusiaan

Kondisi di lapangan semakin memprihatinkan. Laporan dari organisasi kemanusiaan menyebutkan bahwa fasilitas pengungsian di wilayah Aranyaprathet (Thailand) dan Banteay Meanchey (Kamboja) mulai kewalahan. Kebutuhan mendesak mencakup:

  • Pasokan air bersih dan obat-obatan
  • Tenda darurat
  • Logistik makanan
  • Bantuan trauma healing untuk anak-anak

Palang Merah Internasional telah meminta kedua negara memberi akses kemanusiaan untuk mengevakuasi warga dan menghindari pelanggaran HAM dalam zona konflik.

Apakah Perang Skala Penuh Bisa Terjadi?

Pengamat geopolitik Asia Tenggara, Dr. Ratna Kusumawardhani, menyatakan bahwa konflik ini berpotensi meluas jika tidak segera diredam, apalagi mengingat posisi Candi Preah Vihear yang memiliki nilai simbolik dan historis tinggi bagi kedua negara.

“Kita tidak berbicara soal tanah saja, tapi tentang harga diri nasional. Jika diplomasi gagal, konflik bisa menjadi perang terbuka.”

Skenario terburuk dikhawatirkan terjadi jika kedua pihak terus melakukan mobilisasi militer dalam skala besar, yang bisa menjerumuskan kawasan ke dalam krisis bersenjata regional.

Diplomasi atau Perang, Pilihan di Ujung Senapan

Konflik Thailand-Kamboja bukan hal baru, namun eskalasi terbaru kali ini sangat berbahaya. Dengan korban tewas yang terus bertambah dan penduduk sipil menjadi korban, tekanan terhadap kedua pemerintahan untuk menempuh jalur damai semakin besar.

ASEAN sebagai organisasi regional kini berada di titik krusial: membuktikan apakah mereka mampu menjadi penengah efektif atau hanya sekadar penonton dari pertikaian yang mengancam stabilitas kawasan.

BACA ARTIKEL LAINNYA DISINI>>> https://walhiyogya.or.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *